Kamis, 29 Desember 2011

Dan Gerimis Di Luar Sana

Sepi. Tak ada lagi gelak tawa bocah yang berlarian menendang bola ketika hujan seperti ini, seperti biasanya juga. Sepetak pelataran kecil itu telah senyap, pekat dibalut senja yang kian gelap. Dingin. Semilir angin ini terasa lain. Menusuk tulang. Mengoyak hangat yang tersisa begitu saja. Teras ini terasa kian sepi.

“Kapan Mas Reno akan berhenti merokok?” Indri, yang sejak tadi diam memeluk lutut, mencoba memecah kebekuan yang tercipta. Wajahnya tak lagi setenang tadi, ketika pertama kali ia datang.

“Aku baru saja memulainya, In. ”

”Kemarin Mas tidak merokok. Sekarang tiba-tiba merokok. Aku tidak suka, Mas. Bau asap itu, ah... Kenapa sih di dunia ini harus ada yang namanya rokok?”

”Manusia bisa saja berubah seiring berjalannya waktu, In.”

”Iya, aku tau, Mas. Tapi tidak ke arah yang lebih buruk seperti ini, kan?”

Sepi kembali berkuasa.

Reno melempar puntung rokok terakhirnya ke luar. Segera api yang membakar ujung puntung itu padam tertimpa tetes air hujan yang masih tersisa. Ada haru yang menyerta disana, dipadamnya puntung itu, yang begitu kentara seiring ia dilempar begitu saja, yang padam tanpa ada sisa nyala, yang... yang sayangnya tak terbaca oleh Indri yang tak tahu apa-apa.

Reno membakar lagi rokok yang ke...

”Mas!” Indri menatap tajam. ”Mas tak menganggapku lagi?” Galau itu menyeruak begitu saja. Tak bisa dicegah. ”Aku sayang sama Mas Reno. Berhentilah merokok, Mas. Mau ya...”

Reno tersenyum. Gertir. Perih. Terasa begitu dipaksakan.

Tapi terlambat. Rokok telah membara merah diujungnya. Asap mengepul tak beraturan. Gelap kali ini kian memuramkan keadaan. Kian kabur oleh asap rokok yang terbang membungkus isak tangis. Kemilau mata Reno yang berkaca-kaca tak lagi terlihat. Terabaikan. Di luar, hujan menyisakan rintik yang memilukan.

”Sudah hampir malam,” Reno menghembuskan lagi asap rokoknya untuk kesekian kali. ”Kapan kamu dijemput?” Kalimat ini, ah... demi Tuhan, sungguh tak ingin Reno menanyakannya.

”Sebentar lagi, Mas.” jawab Indri pelan. “Mas kapan berhenti merokok?”

“Semoga saja bisa.”

Tak ada lagi pembicaraan setelahnya, setelah Indri memutuskan untuk pulang. Gunawan, pemuda yang telah berhasil memenangkan hati Indri, telah datang menjemput. Dan ini, sungguh... semakin ingin rasanya Reno membakar sepuluh batang rokok sekaligus dan menghisapnya sampai selesai.

“Tak terbacakah olehmu apa yang menyebabkan aku berubah?” Reno mendesah. Indri telah pergi. Langit telah gelap, benar-benar gelap. Mata yang berkaca-kaca itu telah terpejam, benar-benar meneteskan air mata yang hangat. Semilir angin kian menjadi dingin dan gerimis di luar sana masih mengirimkan desah yang semakin menyayat perasaan.

Reno menatap lekat bungkus rokok disebelahnya. Dibukanya. Masih ada lima batang lagi. Reno tak bisa berbuat lain selain ini.



27 Maret 2010

Senja Air Mata

Mama menyambutku seperti biasa ketika aku pulang kerja sore ini. Tak ada senyum atau sesuatu yang sekiranya bisa menyenangkanku saat aku memasuki rumah ini.

“Bolos lagi?”

Itu…, selalu itu yang ditanyakan mama saat aku pulang tidak pada waktunya. Mama tahu aku pulang kerja selalu tepat pukul tujuh malam. Setidaknya ini yang kerap terjadi setelah ditambah dengan beberapa jam waktu untuk lembur.

Aku menggeleng. “Terpaksa gak lembur,” jawabku sekenanya. Aku ingin segera masuk kamar dan berbaring, itu saja. Bukan berdebat seperti kemarin, seperti biasanya.

”Kenapa?” mama memandangiku dengan tatapan menyelidik, juga seperti biasanya saat aku memutuskan untuk tidak lembur. ”Bukankah mama sudah bilang, lembur itu penting. Mama gak mengharapkan uangmu kok. Yang mama ingin, kamu belajar disiplin dalam kerja. Untuk kepentinganmu juga, kan?”

Aku sudah tidak dengar apa-apa lagi. Aku capek. Percuma saja berdebat kalau mama sendiri sama sekali tak tahu alasan mengapa aku gak lembur, tepatnya jarang lagi mengambil waktu lembur. Andai mama tahu...

Wajah Sesa berkelebat dipelupuk mata. Aku mendengus kesal. Benci tapi aku masih mencintainya. Jujur saja kukatakan ini. Aku masih mencintainya. Tapi juga aku tidak bisa terima penghianatan yang sudah ia lakukan. Memanfaatkan laki-laki lain sementara aku sendiri masih cukup tangguh untuk diandalkan mengantarnya kemanapun ia pergi. Entahlah, itu penghianatan atau bukan. Yang jelas aku tidak senang. Titik.

Seminggu ini Sesa terbaring di rumah sakit. Ia tidak mangatakan apa nama penyakitnya. Yang ia inginkan hanya kedatanganku menjenguknya, dan itu tidak bisa kukabulkan. Siapa yang salah? Aku kah?

Hampir sepuluh kali Hp-ku berdering setiap hari, hanya dari Sesa saja. Malangnya dia, telpon itu tak aku angkat. Kejam? Mungkin iya. Tapi jika ingat apa yang sudah ia lakukan, justru aku merasa puas telah berhasil membalas kelakuannya justru disaat ia terkapar tak berdaya seperti saat ini. Aku tersenyum.

Senyum Sesa membayang lagi.

Tadi aku sudah memutuskan untuk tidak mengambil jam lembur. Tahukah mama jika alasanku kali ini adalah karena aku rindu pada Sesa?

Seharian aku memikirkan Sesa. Aku rindu padanya, pada kekasihku yang telah menghianatiku itu. Aku bermaksud menjenguknya sore ini. Aku yakin dengan keputusanku. Sangat yakin. Memaafkannya dan memulai kisah baru yang lebih indah. Aku tersenyum lagi. Kali ini dengan sebuah kebesaran hati seorang laki-laki yang telah dihianati.

Kuraih Hp yang tergeletak di meja kerjaku. Segera kucari nama Sesa. Dan....

”Alan...”

Suara itu... aku begitu mengenalinya, sangat mengenalinya.

”Kok Alan tidak datang?” suara itu mulai bergetar, bahkan sejenak kemudian suara itu telah disertai dengan isak tangis. Aku diam saja dan hanya ingin mendengarkan apa yang akan dia katakan selanjutnya.

”Sesa telah dimakamkan tadi pagi.”

Aku... aku sungguh tidak merasakan apa-apa saat ini. Bahkan detak jantungku sekalipun. Aku... aku merasa begitu bodoh dan tidak berguna. Aku menangis untuk pertama kalinya hanya untuk masalah perempuan. Dadaku sesak. Suaraku hilang. Tenggorokanku terasa mengembang. Tatapan mataku kian gelap. Pikiranku kacau. Percuma. Percuma semuanya. Bahkan kematianku sendiri tidak akan bisa mengembalikan Sesa.

Sesa...

Aku tak mampu bergerak. Senja telah menguraikan air mataku. Dan penghianatan itu, apakah benar? Siapa sebenarnya yang salah? Sesa yang salah atau aku yang terlalu terburu menjatuhkan tuduhan?

Aku baru mulai bertanya-tanya.


19 Januari 2010

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah